Ayo Hapuskan Ujian Nasional Tahun Depan!!
Akibat dari gengsi besar para pejabat negeri ini, mentalitas dan moralitas generasi bangsa dikorbankan. Demi menjaga image atau pencitraan pendidikan yg sering menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa..bangsa ini mengambil resiko yg terlalu besar dg menerapkan sistem pendidikan yg sama di negara tetangga yg lebih matang dan maju Singapura, Malaysia. Ya..salahnya penilaian manusia selalu bersifat materi yg terhitung oleh angka-angka maka segala bentuk penilaian manusia yang umum dapat diterima adalah sebuah data berupa angka. Padahal, kualitas seharusnya lebih dipentingkan daripada kuantitas.
Ide diselenggarakannya UN di Indonesia adalah gagasan yg lahir dari Jusuf Kalla dkk. yg berniat baik untuk memajukan taraf peningkatan pendidikan indonesia dg tidak diimbangi kesiapan yg matang dari pihak pejabat terkait Diknas waktu itu, sekolah dan para guru.
Sebagai bagian dari pegawai di institusi pendidikan, saya sangat prihatin dg apa yg menimpa dunia kependidikan kita sejak diberlakukan UN sebagai syarat kelulusan. Saya pikir UN lebih banyak menimbulkan kemadhorotan dibanding kemaslahatannya.
1. UN memaksa para guru untuk memerankan fungsi sebagai "pengajar" saja dg mengabaikan fungsi "pendidik". Saya pikir kurikulum berbasis karakter ini menjadi percuma karna guru fokus pada pemahaman materi siswa, khawatir anak tak bisa/tak lulus terlebih untuk mata pelajaran yg di UN-kan.
2. Katanya pendidikan itu bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa...lah tapi ini kok jadi alat pembodohan bangsa dg dıjadıkannya un sbg syarat kelulusan. Kebocoran atau kecurangan inilah yg dapat menghancurkan nilai-nilai pendidikan itu sendiri. Kecurangan di sana sini yang terjadi buktinya dg tidak sedikit pula yg terungkap media dibeberapa sekolah yg terpaksa melakukan cara tidak benar ini dg harapan semua anak didik sekolah tsb bisa lulus 100%.
Menurut beberapa pihak dari praktisi pendidikan memang kecurangan ini menjadi aib institusi pendidikan indonesia yg sebagian memang saling menutupi karna berkaitan langsung dg kepentingan lain. Misal persentase kelulusan siswa disuatu sekolah berpengaruh pada jumlah pendaftar saat PSB, termasuk berimbas pula pada reputasi dinas pendidikan dan kepala pemerintahan daerah. Akumulasi dari persentase kelulusan tiap daerah jadilah angka yg menyatakan apakah berhasil atau tidaknya kementrian pendidikan dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan bangsa, jika penyelenggaraan memang terbukti gagal seperti yg diisukan banyak media tv dan koran maka tentunya ini menjadi bahan evaluasi besar bagi semua pihak. Bayangkan saja jika banyak siswa tidak lulus maka akan terjadi ketimpangan misal jika siswa sma/ma/sederajat banyak tidak lulus maka sedikit yg akan melanjutkan ke PT, begitu pula siswa smp seandainya ketidaklulusannya menjadi penghambat untuk melanjutkan studi maka psb/penerimaan siswa baru di sma tentu tidak akan membludak seperti taun sebelumnya dan seterusnya.
Hanya saja jika saya boleh mengajukan apa yg sebaiknya dilakukan berdasar hemat saya adalah kembali pada cara lama dg berbagai revisi tentunya..:
1. UN Diganti menjadi Ebtanas Murni, cara klasik. saya mengalami masa ujian ebtanas waktu SD dan UN pas SMP jadi saya bisa ngebedain kondisi mental, beban psikologis yg sy rasakan dr pengalaman ujian dg sistem yg keduanya sangat berbeda. Tidak ada batasan minimal dalam hasil skor ujian. Lantas apakah menimbulkan kesan anak tidak belajar serius??
Menurut saya tidak. Karena disinilah sebenarnya penyeleksian alam terjadi. Rata-rata sekolah yg akan menerima siswa baru menetapkan Grade sendiri utk menerima siswa, sekolah favorit/berprestasi biasanya akan menetapkan angka dg grade lebuh tinggi dibanding sekolah yg levelnya di bawah begitupula sekolah yg biasa/akreditasinya biasa atau bahkan kurang tidak mungkin memasang grade lebih tinggi di banding sekolah favorit. Maka hanya anak/siswa yg nilai Ebtanya besar yg diterima disekolah bagus, mereka yg bagus nilai Ebtanya tentu mereka tetap serius terhadap ujiannya meski tak ada penetapan skor minimal hasil ujian dari pemerintah. Diciptakannya persaingan untuk dapat melanjutkan ke sekolah yg notabene bagus/favorit tentu ini sudah cukup mendorong siswa agar tetap berusaha meraih hasil/skor tinggi dalam ebtanas.
Ebtanas murni mencerminkan tingkat intelektual anak..sejauh mana pengetahuan yg dimilikinya setelah 6 tahun (misal untuk SD) ia belajar disekolah, dan menjadi gambaran umum yg cukup untuk sekolah selanjutnya mengenai tingkat kemampuan/potensi anak. Sehingga jika ebta ini benar-benar murni sekolah yg menerima siswa baru tidak perlu melakukan seleksi lagi. Anak sudah terseleksi secara alami, mereka yg bersekolah atau melanjutkan sekolah memiliki potensi yg cukup dan layak untuk menempuh jenjang pendidikan yg lebih tinggi lagi, sedang bagi mereka yg memang hasil ebtanya sangat kecil di bawah grade terendah yg sekolah tetapkan utk siswa barunya, sudah sangat jelas menunjukan bahwa mereka belum mampu, belum memiliki potensi yg cukup untuk menempuh pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi.
Lalu bagaimana utk menampung mereka yg blm mampu ini?
dipersiapkan kembali utk mengikuti ujian susulan, apakah dg memberi pengayaan atw pembelajaran tambahan khusus menghadapi ebta.
Karna usaha sadar masyarakat utk mengikuti wajib dikdas 9 tahun saya pikir cukup mendorong untuk serius utk tetap berusaha mendapat skor yg bagus ditambah persaingan hidup yg memang sekarang semakin ketat.
Dengan cara-cara yg natural dan lebih bijaksana seperti inilah yg hendaknya dilaksanakan pemerintah. Nilai-nilai kejujuran, kemurnian, sportifitas, bukankah
Read More >>