TENTANG NAFKAH
By Teh Patra
Suatu hari seorang wanita datang menemui kerabatnya. Dia hendak meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di mana suaminya? Suaminya ada, menunggu di luar, di atas sepeda motornya. Bukan sekali dua kali sang suami meminta istrinya meminjam ke sana kemari. Katanya "kan temen kamu baik-baik". Alhasil si wanita dikenal sebagai seorang yang suka berhutang kesana kemari. Kadang dibayar, sering juga tidak. Sang suami berharap teman-teman istrinya bosan menagih, lalu mengikhlaskan dan memutihkan hutangnya.
Di tempat lain seorang lelaki kerap kali mendatangi teman-temannya. Dia lelaki sehat dan kuat. Awalnya meminjam uang. Hutang-hutang itu tak terbayar. Akhirnya teman-temannya tak lagi memberi pinjaman, tapi memberinya sedekah seikhlasnya. Si lelaki bukannya sadar, sekarang tak lagi meminjam uang, tapi meminta sedekah kemana-mana. Kadang tak lagi berbasa-basi. Langsung sms : "Pak, bisa tolong transfer sekian, saya butuh buat anu". Sang penerima sms tertegun..tak mampu berkata.
Awalnya dia meminta sedekah untuk membiayai anaknya sekolah. Waktu berlalu, dia masih meminta untuk membiayai anaknya masuk kuliah di perguruan tinggi. Waktu terus berlalu, sang anak pun lulus dari perguruan tinggi negeri. Adiknya pun kuliah di perguruan tinggi. Dan sang ayah...lelaki itu...masih juga berkeliling meminta-minta.
Di waktu lain seorang pemuda minta dicarikan calon istri. Dia mencari calon istri lulusan perguruan tinggi yang sudah bekerja. Alasannya agar bisa aman secara finansial.
Ada juga seorang pria beristri yang ingin mempersunting teman saya sebagai istri kedua. Teman saya seorang janda mapan memiliki usaha. Si pria beranggapan dengan begitu dia tak perlu menafkahi teman saya, cukup memberinya status dan memberi nafkah batin. Dengan berang teman saya berkata "saya harus bekerja karena tidak punya suami. Kalau saya punya suami, tentu seharusnya dia yang menafkahi".
Kasus lain, seorang suami terpaksa menganggur, karena pekerjaannya tak sesuai minatnya. Namun pekerjaan yang sesuai minat tak kunjung tiba. Si istri harus berjibaku menafkahi keluarga dan anak-anaknya. Pekerjaan idaman suami belum juga diperoleh. Spp anak-anak menunggak berbulan-bulan. Terkadang harus meminta makan pada orangtua dan mertua. Sang istri mulai lelah. Urusan runah tangga tetap harus ditangani sendiri. Urusan nafkah harus juga dia tanggung. Tak hanya itu, beban hutang suaminya pun harus dia yang bayar. Sementara sang suami angkat tangan, terpuruk dalam ketakberdayaan, tak juga mau bekerja kecuali kelak jika mendapat pekerjaan sesuai passionnya.
Dan masih banyak..banyak sekali kasus serupa. Para wanita curhat silih berganti. Dan saya hanya bisa memberi motivasi, mengajak sabar, meminjamkan barang dagangan, dan solusi sementara lain yang tak mampu menyentuh akar masalah.
Akar masalahnya dimulai pada pendidikan anak lelaki. Pendidikan tanggung jawab, pendidikan keterampilan mencari nafkah, pendidikan aqidah, pendidikan amanah, pendidikan berani, pendidikan menyusun prioritas, pendidikan fiqh syar'iyah, pendidikan disiplin dan berani dan pendidikan lain yang dibutuhkan untuk menjadi seorang suami dan ayah.
Para lelaki, harus paham bahwa nafkah adalh tanggung jawabnya, bukan tanggung jawab istrinya. Dia harus paham bahwa meninggalkan kewajiban nafkah adalah dosa. Jikalah ada suatu uszur syar'i yang menyebabkan kemampuan mencari nafkahnya terganggu, dia tetap harus berusaha semampunya. Jikalau harus berhutang, maka dia yang harus berani menghadap pemberi hutang, bukan menjadikan istrinya perisai. Dan dia harus bertanggung jawab membayarnya.
Jikalah sang istri mendapatkan rizqi dari Allah untuk membantunya, hendaklah dia tahu berterima kasih. Dan meniatkan bantuan itu hanya sementara, sambil terus berikhtiar. Juga membantu si istri meringankan bebannya.
Wahai lelaki, jadilah lelaki sejati. Jagalah istrimu, layakkan dirimu mendampinginya...karena sesungguhnya dia adalah bidadari yang sedang menyamar, yang kelak akan menjadi pendampingmu di surga.
Ditulis oleh Mira
Rating Blog 5 dari 5